LOVE STORY
|
K
|
riingg … kringg … kring …
Alarmku berbunyi. Itu tandanya aku harus segera bangun. Aku langsung mandi. Aku kenakan seragam sekolahku lalu
turun ke bawah menuju ruang makan. Di sana nampak papa dan mamaku sudah menungguku
untuk sarapan bersama. Di atas meja sudah tersedia roti, mentega, dan selai
stroberi yang telah disiapkan oleh Bi Ijah, dia yang membantu kami mengerjakan
pekerjaan rumah tangga. Papaku berprofesi di bidang perfilman sebagai produser
film sedangkan mamaku bekerja sebagai seorang akuntan pajak di salah satu Dinas
Perpajakan di Jakarta.
Sarapan
selesai, aku diantar mamaku ke sekolah. Sedangkan papaku sudah berangkat ke
tempat kerjanya.
Sesampainya
di sekolah, “Akira!” terdengar dua suara gadis yang memanggilku dari kejauhan.
Aku
segera menoleh. “Maya!Elina!”sahutku bahagia melihat kedua sahabatku ini.
“Selamat
pagi, Akira! Apa kabar ?” tanya Maya.
“Baik,”
jawabku singkat. Tiba-tiba, aku mulai aneh dengan gerak-gerik mereka yang
menyenggol tubuhku dan memainkan mata mereka seolah menyuruhku untuk melihat ke
arah belakang.
“Akira!”
tiba-tiba terdengar suara lelaki yang memanggilku tepat di balik punggungku.
Deg!
Suara yang tidak asing lagi di telingaku. Suara yang kudengar setiap hari tanpa
terkecuali. Aku berbalik dan ternyata benar dugaanku. “Rizvan!” aku balik
menyapanya. Dia adalah kekasihku dan dia juga kakak kelas di sekolahku. Rizvan
kelas XII-IPA sedangkan aku kelas X-IPA. Aku termasuk murid baru di sini.
Rizvan,
seorang siswa yang digemari para siswi di sekolah. Tingginya seratus tujuh
puluh lima sentimeter, berwajah tampan, kulitnya bersinar, matanya tajam
berwarna coklat. Awalnya, aku kira Rizvan itu orangnya jutek, dingin, dan keras
kepala. Terbukti saat dia menjadi pengurus OSIS dan mengawasi MOS ketika aku
pertama kali masuk di sini. Tapi itu salah, dia sangat baik, humoris,
perhatian, dan pintar.
“Hey!
Kok bengong sih ? Kamu sudah sarapan belum ?” tanya Rizvan membuatku terbangun
dari lamunanku tentangnya.
“Oh… Mmm … sudah kok,” jawabku gugup.
“Akira.
Kayaknya kita duluan aja deh ke kelasnya. Daaa !”kata Maya sambil mengajak
Elina pergi.
“Aku ke
kelas ya!” ucapku pada Rizvan.
“Tidak,
tunggu! Maksudku, biar aku antar kamu ke kelas,” kata Rizvan.
“Sampai
sini aja ya Ra !” ucap Rizvan sesampainya kami di pintu kelasku.
“Iya.
Tidak apa,” jawabku.
TengTengTeng … Bel berbunyi. Jam pelajaran pertama
dimulai. Aku mengikuti pelajaran itu dengan sedikit bermalas-malasan apalagi
ditambah kantuk melandaku. Sebentar-bentar meguap, aku jadi tidak bisa
berkonsentrasi penuh.
TengTengTeng … Bel istirahat berbunyi. Sudah menjadi
kebiasaanku setiap istirahat selalu pergi ke perpustakaan untuk meminjam buku
lalu membacanya di taman sekolah.
Ketika
aku sedang duduk dan berkonsentrasi membaca. Tiba-tiba kedua sahabtku
menghampiriku.
“Akira!
Kita harus memberitahumu sesuatu !”kata Elina dengan nada cemas.
“Apa
sih ? Kalian ini kayak gak tau aku aja. Aku paling gak suka diganggu kalau lagi
baca buku. Ngerti!!” sahutku.
“Iya.
Aku tau. Tapi ini penting ! Coba lihat ke sana!” perintah Elina sambil menujuk
ke arah sudut taman.
Aku gak
tau apa aku salah lihat atau gak. Yang jelas yang aku lihat sekarang itu bukan
pemandangan yang indah. Jantungku terasa mati dan waktu seakan berhenti
berputar. Rizvan dengan Bella sedang asyik duduk berdua. Biasanya, aku gak
pernah cemburu melihat Rizvan duduk atau ngobrol dengan teman perempuannya.
Tapi yang ini sudah melampaui batas. Aku tahu, Bella itu suka sama Rizvan dari
dulu. Bella sendiri juga tau kalau Rizvan itu pacar aku. Seharusnya dia hargain
aku. Bukannya malah menusuk aku dari belakang. Seketika hatiku perih seperti
teriris pisau atau bahkan lebih dari itu.
Tanpa
menghiraukan kedua sahabat yang berdiri di sampingku. Aku segera berlari menuju
ke kelas. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku pernah berprinsip kalau aku
tidak akan pernah membuang air mataku sia-sia hanya untuk seorang laki-laki. Tapi
sekarang situasinya berbeda. Rasanya air mataku sudah di ujung mata dan aku gak
boleh menangis di sini. Aku harus menahannya. Setidaknya, sampai aku di rumah.
“Akira,
sudah tidak usah dipikirkan,” hibur Elina.
“Iya.
Itu hanya membuatmu sakit hati dan bisa mengganggu konsentrasi belajarmu,”
timpal Maya.
“Aku
baik-baik aja kok,” ucapku sambil mencoba untuk tersenyum.
“Nah,
gitu dong! Itu baru namanya Akira,” kata Maya.
“Pokonya,
kita harus semangat. SEMANGAT !!!!” ucap Elina dengan suara lantang dan gaya
seperi para pendemo.
“Ha …
Ha … Ha …” kami beriga tertawa melihat tingkah lucu Elina. Begitu cepat aku
dapat melupakan kejadian tadi. Memang hanya mereka yang bisa membuatku senang.
“Akira!
Yuk, pulang !” ajak Rizvan. Dia kira aku sedang menunggunya.
“Tidak.
Aku naik angkot aja bareng Maya dan Elina,” jawabku.
“Masa
anak produser kaya pulangnya naik angkot. Emang gak malu ?” ledek Rizvan.
“Itu
bukan urusan kamu,” jawabku dengan nada jutek.
“Kamu
kenapa sih ? Aku berbuat salah ya sama kamu ?” tanya Rizvan yang sepertinya dia
tahu kalau aku lagi kesal.
“Pikir
aja sendiri,” jawabku singkat.
“Yuk,
Ra !” ajak Elina.
Baru
beberapa langkah aku pergi, tiba-tiba langkahku langsung terhenti. Rizvan
memegang tanganku dan meminta penjelasan atas sikapku.
“Akira.
Kalau aku punya salah aku minta maaf! Tapi aku juga berhak tau ! Kenapa kamu
marah sama aku ?”
“Kamu
gak tau apa kesalahanmu, Van ? Aku tuh gak suka ngeliat kamu sama Bella tadi…”
“Oh.
Jadi kamu cemburu ? Ya ampun , Akira !” sahut Rizvan sambil tersenyum geli.
“Aku
gak bercanda, Rizvan! Aku benci sama kamu,” ucapku dengan tegas dan langsung
meninggalkannya.
Baru
pertama kali, aku bilang benci sama Rizvan. Sesampainya di rumah, aku langsug
menuju kamar dan menghempaskan tubuhku ke ranjang. Aku tidak bisa lagi menahan
air mataku. Seketika tetes demi tetes air mata jatuh membasahi pipiku.
Jam dinding
menunjukkan pukul 19.00 WIB. Aku sedang duduk di meja belajarku sambil
mengerjakan tugas. Tiba-tiba, HP-ku bergetar. Rizvan menelponku. Aku biarkan
sampai HP-ku berhenti bergetar. Kejadian itu terus berulang hingga empat kali.
Beberapa
menit kemudian, Rizvan mengirim pesan singkat :
Akira,
maafkan aku ! Aku janji gak akan mengulangi kesalahanku ini. Aku menyesal. Aku
sudah meyakitimu. Di pikiranku sekarang hanya ada namamu, Akira. I love you
just the way you are.
Aku tidak
bisa membendung air mataku. Sejujurnya, aku cinta Rizvan juga. Tapi di sisi lain aku juga masih benci sama dia.
Ya Tuhan, aku bingung. Aku belum bisa maafkan dia sekarang. Besok weekend, aku mau menghibur diriku dengan
berjalan –jalan bersama sahabatku.
“ Hai !
Sudah siap kan ? Yuk kita berangkat !”ajak Maya.
“Yuk!”
jawabku.
Kita pergi
naik sepeda motor. Aku dibonceng Maya sedangkan Elina sendiri. Setengah jam aku
pergi, Rizvan datang ke rumahku.
“Maaf, Bi
! Akira ada di rumah gak ?’’ tanya Rizvan pada Bi Ijah.
“Waduh!
Nak Rizvan telat. Non Akira tadi baru saja pergi sama temennya…”
“Yah!
Kira-kira mereka pergi kemana ya , Bi ?”
“Wah!
Kalau itu Bibi kurang tau…”
“Oh, ya
sudah! Terima kasih, Bi!”
“Iya.
Sama-sama…”
Tak lama
setelah itu, Bi Ijah menelponku.
“Ada apa,
Bi ?”
“Tadi, Nak
Rizvan datang ke rumah. Dia nanyain Non …”
“Terus
Bibi jawab apa?”
“Ya, Bibi
bilang aja Non Akiranya lagi pergi tapi gak tau kemana…”
“Terus?”
“Ya sudah.
Nak Rizvan langsung pulang…”
“Bagus
deh. Aku lagi sebel sama dia, Bi …”
“Oh, ya
sudah. Bibi mau lanjut kerja. O iya, kalau marahan jangan lama-lama ya, Non!”
”Iya.”
Bi Ijah
langsung menutup teleponnya.
“Kenapa,
Ra?” tanya Elina.
“Tadi
Rizvan ke rumahku…” jawabku.
“Ngapain?”
sekarang giliran Maya yang nanya.
“Ya mana
aku tau…” jawabku lagi dengan jengkel.
Jam tangan
menunjukkan pukul 12.00 WIB.
“Pulang,
yuk! Aku mulai bosan nih,” ajakku.
“Yuk!”
jawab Maya dan Elina kompak.
Mereka
mengantarku sampai rumah. Dan sekarang tinggal aku sendiri di kamar. Entah
kenapa, seperti ada yang ganjil. Perasaanku mulai tidak enak sejak tadi. Seperti
akan ada kejadian buruk menimpaku. Handphoneku bergetar. Tertulis nama”Tante
Syirin”.
“Hallo!
Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam,”
“Ada apa
Tante ?”
Jantungku
semakin berdetak kencang, ketika kudengar di seberang telepon kalau Tante
Syirin sedang menangis.
“Rizvan,
Ra. Rizvan kecelakaan…”
Tangisan
Tante Syirin semakin tak terkendali. Aku bisa mendengarnya dengan jelas. Aku
sangat terkejut mendengar berita itu.
“Sekarang
Tante ada dimana?”
“Tante ada
di rumah sakit. Kamu ke sini, ya??!!”
“Iya,
Tante. Aku segera ke sana.”
Aku
langsung mengambil jaket dan tasku.
“Bi, aku
pergi ke rumah sakit dulu, ya!”
Belum
sempat Bi Ijah menjawab, aku langsung bergegas pergi dan mencari taksi.
Sesampainya
di rumah sakit, “Tante, Rizvan dimana?” tanyaku.
“Rizvan
sedang ditangani dokter di dalam. Dia mengalami cidera di kepalanya,” jawab
Tante Syirin .
“Innalillahi…
Apa lukanya parah?”
“Tante
juga belum tau.”
Aku tak
tega melihat Tante Syirin. Rizvan adalah anak semata wayangnya. Aku mengerti
perasaannya sekarang. Dia pasti sangat terpukul.
“Tante
sabar, ya! Rizvan pasti baik-baik saja,” hiburku.
“Terima
kasih, Akira !” Tante Syirin menjawab dengan senyuman. Aku tahu dibalik
senyuman itu pasti ada duka yang mendalam.
Tak lama
kemudian, dokter keluar dari kamar.
“Bagaimana,
Dok?”tanya Tante Syirin pada dokter.
“Semuanya
berjalan lancar. Lukanya dapat ditutup. Sebentar lagi, Rizvan juga siuman. Tapi
pesan saya, tolong jangan diajak bicara dulu, ya!” jelas Dokter.
“Alhamdulillah,
boleh kita masuk sekarang?”
“Iya, silakan!”
Aku dan
Tante Syirin masuk ke kamar rawat Rizvan. Baru beberapa langkah aku memasuki
ruangan itu dan melihat Rizvan sedang terbaring lemah di tempat tidur, aku
langsung berlari keluar. Aku terduduk di kursi ruang tunggu. Aku tidak bisa
melihatnya seperti itu. Aku hanya bisa menangis. Tak lama kemudian, Tante
Syirin keluar.
“Akira,
kamu yang sabar ya, Nak!”Tante Syirin mencoba menghiburku.
“Terima
kasih, Tante! Bagaimana keadaan Rizvan?”
“Tadi dia
sudah sadar. Sekarang dia sedang istirahat. Dia menanyakanmu dan dia ingin
bicara padamu. Tapi tadi kan dokter bilang dia tidak boleh banyak bicara dulu.”
“Iya,
Tante. Aku ngerti kok. Oh iya, aku harus pamit pulang sekarang. Banyak tugas
sekolah yang belum aku kerjakan. Besok atau nanti pasti aku balik lagi.”
“Iya.
Hati-hati ya, Nak!”
“Titip
salam untuk Rizvan ya, Tante…”
“Iya.
Nanti Tante sampaikan…”
“Assalamualaikum…”
ucapku sambil mencium tangan Tante Syirin.
“Waalaikumsalam.”
Aku
menceritakan hal ini pada mamaku, Elina, dan Maya. Mereka turut prihatin dan
mencoba menyemangatiku. Tapi rasanya aku belum tenang jika belum bertemu dan
bicara dengan Rizvan. Perasaan itu terus mendorongku untuk menemui Rizvan.
Akhirnya, aku memutuskan utuk pergi sehabis magrib nanti.
Jam
menunjukkan pukul 18.30 WIB. Aku bersiap-siap untuk pergi.
“Akira.
Kamu mau kemana, sayang?” tanya mamaku.
“Aku mau
menjenguk Rizvan, Ma” jawabku.
“Biar Mama
antar, sekalian Mama juga mau menjenguknya,” bujuk Mamaku.
Aku pergi
dengan Mama. Sesampainya di rumah sakit, “Akira, syukurlah kamu datang. Sedari
tadi, Rizvan menyebut namamu terus. Lebih baik cepat kamu masuk sana,” perintah
Tante Syirin.
Aku segera
masu ke kamar. Aku melihat Rizvan terbaring di sana. Aku menghampirinya. Dia
tersenyum padaku.
“Hai,
cantik! Apa kabar?” Rizvan menyapaku dengan suaranya yang terdengar sangat
lemas. Dalam keadaan seperti ini, dia masih sempat memujiku.
“Aku baik.
Bagaimana denganmu?” balasku.
Dia menjawabku
hanya dengan sebuah senyuman. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Aku mencoba
untuk tidak menangis. Tapi, aku tiak bisa menahannya. Air mata menetes dari
mataku.
“Akira.
Aku mohon jangan menangis. Kalau kamu sedih, aku juga sedih,” ucap Rizvan
sambil menghapus air mata di pipiku.
“Rizvan,
maafin aku! Aku sudah cemburu sama Bella. Aku yang salah,” kataku.
“Tidak.
Kamu pantas kok cemburu. Aku yang salah. Harusnya aku yang minta maaf sama
kamu…”
Aku
memegang tangan Rizvan. Dingin sekali. Pikiran buruk telah menghantuiku. Aku
semakin takut.
“Rizvan,
tanganmu dingin,” tuturku.
“Aku gugup
bertemu denganmu, Akira,” jawabnya. Aku yakin dia bohong. Tapi aku tak
menghiraukannya. “Akira. Kamu harus janji padaku satu hal dan kamu harus
menepatinya,” lanjutnya.
“Janji
apa?” tanyaku.
“Jika aku
pergi, kamu harus janji jangan pernah menangis,” jawabnya.
“Rizvan!
Kamu ngomong apa sih? Kamu akan selalu bersamaku selamanya. Aku gak mau janji
kayak gitu,” sanggahku.
“Ayolah,
Akira. Aku mohon?!” pinta Rizvan.
Aku tidak bisa
berbicara apa pun. Aku hanya menggelengkan kepala.
“Kemarilah!”
pinta Rizvan lagi.
Aku
mendekati pembaringannya, tepat bertatapan muka dengannya. Dia mengangkat
kepalanya agar lebih dekat denganku. Lalu, dia mencium keningku. Air mata itu
kembali menetes. Aku segera menghapusnya agar Rizvan tidak melihat.
“Aku
mencintaimu,” tutur Rizvan sambil memejamkan mata dan tersenyum.
“Aku juga
mencintaimu,” balasku.
Tiba-tiba
saja aku melihat air mata mengalir dari mata Rizvan yang terpejam. Dan itu
adalah terakhir kalinya kulihat Rizvan tersenyum. Itu juga terakhir kalinya
Rizvan mengatakan cinta padaku. Karena saat itu juga, selang infus sudah tidak
berguna lagi. Rizvan telah pergi…
Suasana
pemakaman Rizvan dipenuhi dengan isakan tangis orang-orang terdekatnya kecuali
aku. Aku ingin melaksanakan janji yang dipinta Rizvan padaku. Aku ingin
membuatnya bahagia di sana. Dan sekarang adalah saat yang tepat untuk menepati
janji itu. Di saat Rizvan pergi untuk selamanya.
Inilah
kisah cintaku. Dan, kusadari di dalam setiap kisah cinta memang tidak ada akhir
yang membahagiakan. Walaupun cinta itu abadi. Salah satu darinya akan berpulang
lebih dulu. Meninggalkan kekasih hatinya di dalam kesedihan dan duka cita.
~ SELESAI ~
2 komentar:
WWeeehhhhh....Ekaaa...!!!!!
ceritanya panjang banget..!!!! -____-
bagus ceritanya^^
terima kasih , una !!!
jangan bosan2 mampir ke blog-ku yah...!
haha... :)
Posting Komentar