Halaman

Clock

Selasa, 14 Januari 2014

LOVE STORY

K
riingg … kringg … kring … Alarmku berbunyi. Itu tandanya aku harus segera bangun. Aku langsung  mandi. Aku kenakan seragam sekolahku lalu turun ke bawah menuju ruang makan. Di sana nampak papa dan mamaku sudah menungguku untuk sarapan bersama. Di atas meja sudah tersedia roti, mentega, dan selai stroberi yang telah disiapkan oleh Bi Ijah, dia yang membantu kami mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Papaku berprofesi di bidang perfilman sebagai produser film sedangkan mamaku bekerja sebagai seorang akuntan pajak di salah satu Dinas Perpajakan di Jakarta.
Sarapan selesai, aku diantar mamaku ke sekolah. Sedangkan papaku sudah berangkat ke tempat kerjanya.
Sesampainya di sekolah, “Akira!” terdengar dua suara gadis yang memanggilku dari kejauhan.
Aku segera menoleh. “Maya!Elina!”sahutku bahagia melihat kedua sahabatku ini.
“Selamat pagi, Akira! Apa kabar ?” tanya Maya.
“Baik,” jawabku singkat. Tiba-tiba, aku mulai aneh dengan gerak-gerik mereka yang menyenggol tubuhku dan memainkan mata mereka seolah menyuruhku untuk melihat ke arah belakang.
“Akira!” tiba-tiba terdengar suara lelaki yang memanggilku tepat di balik punggungku.
Deg! Suara yang tidak asing lagi di telingaku. Suara yang kudengar setiap hari tanpa terkecuali. Aku berbalik dan ternyata benar dugaanku. “Rizvan!” aku balik menyapanya. Dia adalah kekasihku dan dia juga kakak kelas di sekolahku. Rizvan kelas XII-IPA sedangkan aku kelas X-IPA. Aku termasuk murid baru di sini.
Rizvan, seorang siswa yang digemari para siswi di sekolah. Tingginya seratus tujuh puluh lima sentimeter, berwajah tampan, kulitnya bersinar, matanya tajam berwarna coklat. Awalnya, aku kira Rizvan itu orangnya jutek, dingin, dan keras kepala. Terbukti saat dia menjadi pengurus OSIS dan mengawasi MOS ketika aku pertama kali masuk di sini. Tapi itu salah, dia sangat baik, humoris, perhatian, dan pintar.
“Hey! Kok bengong sih ? Kamu sudah sarapan belum ?” tanya Rizvan membuatku terbangun dari lamunanku tentangnya.
“Oh…  Mmm … sudah kok,” jawabku gugup.
“Akira. Kayaknya kita duluan aja deh ke kelasnya. Daaa !”kata Maya sambil mengajak Elina pergi.
“Aku ke kelas ya!” ucapku pada Rizvan.
“Tidak, tunggu! Maksudku, biar aku antar kamu ke kelas,” kata Rizvan.
“Sampai sini aja ya Ra !” ucap Rizvan sesampainya kami di pintu kelasku.
“Iya. Tidak apa,” jawabku.
TengTengTeng  … Bel berbunyi. Jam pelajaran pertama dimulai. Aku mengikuti pelajaran itu dengan sedikit bermalas-malasan apalagi ditambah kantuk melandaku. Sebentar-bentar meguap, aku jadi tidak bisa berkonsentrasi penuh.
TengTengTeng  … Bel istirahat berbunyi. Sudah menjadi kebiasaanku setiap istirahat selalu pergi ke perpustakaan untuk meminjam buku lalu membacanya di taman sekolah.
Ketika aku sedang duduk dan berkonsentrasi membaca. Tiba-tiba kedua sahabtku menghampiriku.
“Akira! Kita harus memberitahumu sesuatu !”kata Elina dengan nada cemas.
“Apa sih ? Kalian ini kayak gak tau aku aja. Aku paling gak suka diganggu kalau lagi baca  buku. Ngerti!!” sahutku.
“Iya. Aku tau. Tapi ini penting ! Coba lihat ke sana!” perintah Elina sambil menujuk ke arah sudut taman.
Aku gak tau apa aku salah lihat atau gak. Yang jelas yang aku lihat sekarang itu bukan pemandangan yang indah. Jantungku terasa mati dan waktu seakan berhenti berputar. Rizvan dengan Bella sedang asyik duduk berdua. Biasanya, aku gak pernah cemburu melihat Rizvan duduk atau ngobrol dengan teman perempuannya. Tapi yang ini sudah melampaui batas. Aku tahu, Bella itu suka sama Rizvan dari dulu. Bella sendiri juga tau kalau Rizvan itu pacar aku. Seharusnya dia hargain aku. Bukannya malah menusuk aku dari belakang. Seketika hatiku perih seperti teriris pisau atau bahkan lebih dari itu.
Tanpa menghiraukan kedua sahabat yang berdiri di sampingku. Aku segera berlari menuju ke kelas. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku pernah berprinsip kalau aku tidak akan pernah membuang air mataku sia-sia hanya untuk seorang laki-laki. Tapi sekarang situasinya berbeda. Rasanya air mataku sudah di ujung mata dan aku gak boleh menangis di sini. Aku harus menahannya. Setidaknya, sampai aku di rumah.
“Akira, sudah tidak usah dipikirkan,” hibur Elina.
“Iya. Itu hanya membuatmu sakit hati dan bisa mengganggu konsentrasi belajarmu,” timpal Maya.
“Aku baik-baik aja kok,” ucapku sambil mencoba untuk tersenyum.
“Nah, gitu dong! Itu baru namanya Akira,” kata Maya.
“Pokonya, kita harus semangat. SEMANGAT !!!!” ucap Elina dengan suara lantang dan gaya seperi para pendemo.

“Ha … Ha … Ha …” kami beriga tertawa melihat tingkah lucu Elina. Begitu cepat aku dapat melupakan kejadian tadi. Memang hanya mereka yang bisa membuatku senang.
 Hari ini aku pulang dengan Maya dan Elina. Tidak seperti biasa aku diantar Rizvan. Di gerbang, aku menunggu sahabatku yang sedang jajan di kantin.
“Akira! Yuk, pulang !” ajak Rizvan. Dia kira aku sedang menunggunya.
“Tidak. Aku naik angkot aja bareng Maya dan Elina,” jawabku.
“Masa anak produser kaya pulangnya naik angkot. Emang gak malu ?” ledek Rizvan.
“Itu bukan urusan kamu,” jawabku dengan nada jutek.
“Kamu kenapa sih ? Aku berbuat salah ya sama kamu ?” tanya Rizvan yang sepertinya dia tahu kalau aku lagi kesal.
“Pikir aja sendiri,” jawabku singkat.
“Yuk, Ra !” ajak Elina.
Baru beberapa langkah aku pergi, tiba-tiba langkahku langsung terhenti. Rizvan memegang tanganku dan meminta penjelasan atas sikapku.
“Akira. Kalau aku punya salah aku minta maaf! Tapi aku juga berhak tau ! Kenapa kamu marah sama aku ?”
“Kamu gak tau apa kesalahanmu, Van ? Aku tuh gak suka ngeliat kamu sama Bella tadi…”
“Oh. Jadi kamu cemburu ? Ya ampun , Akira !” sahut Rizvan sambil tersenyum geli.
“Aku gak bercanda, Rizvan! Aku benci sama kamu,” ucapku dengan tegas dan langsung meninggalkannya.
Baru pertama kali, aku bilang benci sama Rizvan. Sesampainya di rumah, aku langsug menuju kamar dan menghempaskan tubuhku ke ranjang. Aku tidak bisa lagi menahan air mataku. Seketika tetes demi tetes air mata jatuh membasahi pipiku.
Jam dinding menunjukkan pukul 19.00 WIB. Aku sedang duduk di meja belajarku sambil mengerjakan tugas. Tiba-tiba, HP-ku bergetar. Rizvan menelponku. Aku biarkan sampai HP-ku berhenti bergetar. Kejadian itu terus berulang hingga empat kali.
Beberapa menit kemudian, Rizvan mengirim pesan singkat :
Akira, maafkan aku ! Aku janji gak akan mengulangi kesalahanku ini. Aku menyesal. Aku sudah meyakitimu. Di pikiranku sekarang hanya ada namamu, Akira. I love you just the way you are.
Aku tidak bisa membendung air mataku. Sejujurnya, aku cinta Rizvan juga. Tapi  di sisi lain aku juga masih benci sama dia. Ya Tuhan, aku bingung. Aku belum bisa maafkan dia sekarang. Besok weekend, aku mau menghibur diriku dengan berjalan –jalan bersama sahabatku.
“ Hai ! Sudah siap kan ? Yuk kita berangkat !”ajak Maya.
“Yuk!” jawabku.
Kita pergi naik sepeda motor. Aku dibonceng Maya sedangkan Elina sendiri. Setengah jam aku pergi, Rizvan datang ke rumahku.
“Maaf, Bi ! Akira ada di rumah gak ?’’ tanya Rizvan pada Bi Ijah.
“Waduh! Nak Rizvan telat. Non Akira tadi baru saja pergi sama temennya…”
“Yah! Kira-kira mereka pergi kemana ya , Bi ?”
“Wah! Kalau itu Bibi kurang tau…”
“Oh, ya sudah! Terima kasih, Bi!”
“Iya. Sama-sama…”
Tak lama setelah itu, Bi Ijah menelponku.
“Ada apa, Bi ?”
“Tadi, Nak Rizvan datang ke rumah. Dia nanyain Non …”
“Terus Bibi jawab apa?”
“Ya, Bibi bilang aja Non Akiranya lagi pergi tapi gak tau kemana…”
“Terus?”
“Ya sudah. Nak Rizvan langsung pulang…”
“Bagus deh. Aku lagi sebel sama dia, Bi …”
“Oh, ya sudah. Bibi mau lanjut kerja. O iya, kalau marahan jangan lama-lama ya, Non!”
”Iya.”
Bi Ijah langsung menutup teleponnya.
“Kenapa, Ra?” tanya Elina.
“Tadi Rizvan ke rumahku…” jawabku.
“Ngapain?” sekarang giliran Maya yang nanya.
“Ya mana aku tau…” jawabku lagi dengan jengkel.
Jam tangan menunjukkan pukul 12.00 WIB.
“Pulang, yuk! Aku mulai bosan nih,” ajakku.
“Yuk!” jawab Maya dan Elina kompak.
Mereka mengantarku sampai rumah. Dan sekarang tinggal aku sendiri di kamar. Entah kenapa, seperti ada yang ganjil. Perasaanku mulai tidak enak sejak tadi. Seperti akan ada kejadian buruk menimpaku. Handphoneku bergetar. Tertulis nama”Tante Syirin”.
“Hallo! Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam,”
“Ada apa Tante ?”
Jantungku semakin berdetak kencang, ketika kudengar di seberang telepon kalau Tante Syirin sedang menangis.
“Rizvan, Ra. Rizvan kecelakaan…”
Tangisan Tante Syirin semakin tak terkendali. Aku bisa mendengarnya dengan jelas. Aku sangat terkejut mendengar berita itu.
“Sekarang Tante ada dimana?”
“Tante ada di rumah sakit. Kamu ke sini, ya??!!”
“Iya, Tante. Aku segera ke sana.”
Aku langsung mengambil jaket dan tasku.
“Bi, aku pergi ke rumah sakit dulu, ya!”
Belum sempat Bi Ijah menjawab, aku langsung bergegas pergi dan mencari taksi.
Sesampainya di rumah sakit, “Tante, Rizvan dimana?” tanyaku.
“Rizvan sedang ditangani dokter di dalam. Dia mengalami cidera di kepalanya,” jawab Tante Syirin .
“Innalillahi… Apa lukanya parah?”
“Tante juga belum tau.”
Aku tak tega melihat Tante Syirin. Rizvan adalah anak semata wayangnya. Aku mengerti perasaannya sekarang. Dia pasti sangat terpukul.
“Tante sabar, ya! Rizvan pasti baik-baik saja,” hiburku.
“Terima kasih, Akira !” Tante Syirin menjawab dengan senyuman. Aku tahu dibalik senyuman itu pasti ada duka yang mendalam.
Tak lama kemudian, dokter keluar dari kamar.
“Bagaimana, Dok?”tanya Tante Syirin pada dokter.
“Semuanya berjalan lancar. Lukanya dapat ditutup. Sebentar lagi, Rizvan juga siuman. Tapi pesan saya, tolong jangan diajak bicara dulu, ya!” jelas Dokter.
“Alhamdulillah, boleh kita masuk sekarang?”
“Iya, silakan!”
Aku dan Tante Syirin masuk ke kamar rawat Rizvan. Baru beberapa langkah aku memasuki ruangan itu dan melihat Rizvan sedang terbaring lemah di tempat tidur, aku langsung berlari keluar. Aku terduduk di kursi ruang tunggu. Aku tidak bisa melihatnya seperti itu. Aku hanya bisa menangis. Tak lama kemudian, Tante Syirin keluar.
“Akira, kamu yang sabar ya, Nak!”Tante Syirin mencoba menghiburku.
“Terima kasih, Tante! Bagaimana keadaan Rizvan?”
“Tadi dia sudah sadar. Sekarang dia sedang istirahat. Dia menanyakanmu dan dia ingin bicara padamu. Tapi tadi kan dokter bilang dia tidak boleh banyak bicara dulu.”
“Iya, Tante. Aku ngerti kok. Oh iya, aku harus pamit pulang sekarang. Banyak tugas sekolah yang belum aku kerjakan. Besok atau nanti pasti aku balik lagi.”
“Iya. Hati-hati ya, Nak!”
“Titip salam untuk Rizvan ya, Tante…”
“Iya. Nanti Tante sampaikan…”
“Assalamualaikum…” ucapku sambil mencium tangan Tante Syirin.
“Waalaikumsalam.”
Aku menceritakan hal ini pada mamaku, Elina, dan Maya. Mereka turut prihatin dan mencoba menyemangatiku. Tapi rasanya aku belum tenang jika belum bertemu dan bicara dengan Rizvan. Perasaan itu terus mendorongku untuk menemui Rizvan. Akhirnya, aku memutuskan utuk pergi sehabis magrib nanti.
Jam menunjukkan pukul 18.30 WIB. Aku bersiap-siap untuk pergi.
“Akira. Kamu mau kemana, sayang?” tanya mamaku.
“Aku mau menjenguk Rizvan, Ma” jawabku.
“Biar Mama antar, sekalian Mama juga mau menjenguknya,” bujuk Mamaku.
Aku pergi dengan Mama. Sesampainya di rumah sakit, “Akira, syukurlah kamu datang. Sedari tadi, Rizvan menyebut namamu terus. Lebih baik cepat kamu masuk sana,” perintah Tante Syirin.
Aku segera masu ke kamar. Aku melihat Rizvan terbaring di sana. Aku menghampirinya. Dia tersenyum padaku.
“Hai, cantik! Apa kabar?” Rizvan menyapaku dengan suaranya yang terdengar sangat lemas. Dalam keadaan seperti ini, dia masih sempat memujiku.
“Aku baik. Bagaimana denganmu?” balasku.
Dia menjawabku hanya dengan sebuah senyuman. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Aku mencoba untuk tidak menangis. Tapi, aku tiak bisa menahannya. Air mata menetes dari mataku.
“Akira. Aku mohon jangan menangis. Kalau kamu sedih, aku juga sedih,” ucap Rizvan sambil menghapus air mata di pipiku.
“Rizvan, maafin aku! Aku sudah cemburu sama Bella. Aku yang salah,” kataku.
“Tidak. Kamu pantas kok cemburu. Aku yang salah. Harusnya aku yang minta maaf sama kamu…”
Aku memegang tangan Rizvan. Dingin sekali. Pikiran buruk telah menghantuiku. Aku semakin takut.
“Rizvan, tanganmu dingin,” tuturku.
“Aku gugup bertemu denganmu, Akira,” jawabnya. Aku yakin dia bohong. Tapi aku tak menghiraukannya. “Akira. Kamu harus janji padaku satu hal dan kamu harus menepatinya,” lanjutnya.
“Janji apa?” tanyaku.
“Jika aku pergi, kamu harus janji jangan pernah menangis,” jawabnya.
“Rizvan! Kamu ngomong apa sih? Kamu akan selalu bersamaku selamanya. Aku gak mau janji kayak gitu,” sanggahku.
“Ayolah, Akira. Aku mohon?!” pinta Rizvan.
Aku tidak bisa berbicara apa pun. Aku hanya menggelengkan kepala.
“Kemarilah!” pinta Rizvan lagi.
Aku mendekati pembaringannya, tepat bertatapan muka dengannya. Dia mengangkat kepalanya agar lebih dekat denganku. Lalu, dia mencium keningku. Air mata itu kembali menetes. Aku segera menghapusnya agar Rizvan tidak melihat.
“Aku mencintaimu,” tutur Rizvan sambil memejamkan mata dan tersenyum.
“Aku juga mencintaimu,” balasku.
Tiba-tiba saja aku melihat air mata mengalir dari mata Rizvan yang terpejam. Dan itu adalah terakhir kalinya kulihat Rizvan tersenyum. Itu juga terakhir kalinya Rizvan mengatakan cinta padaku. Karena saat itu juga, selang infus sudah tidak berguna lagi. Rizvan telah pergi…
Suasana pemakaman Rizvan dipenuhi dengan isakan tangis orang-orang terdekatnya kecuali aku. Aku ingin melaksanakan janji yang dipinta Rizvan padaku. Aku ingin membuatnya bahagia di sana. Dan sekarang adalah saat yang tepat untuk menepati janji itu. Di saat Rizvan pergi untuk selamanya.
Inilah kisah cintaku. Dan, kusadari di dalam setiap kisah cinta memang tidak ada akhir yang membahagiakan. Walaupun cinta itu abadi. Salah satu darinya akan berpulang lebih dulu. Meninggalkan kekasih hatinya di dalam kesedihan dan duka cita.
~ SELESAI ~

2 komentar:

Unknown mengatakan...

WWeeehhhhh....Ekaaa...!!!!!
ceritanya panjang banget..!!!! -____-
bagus ceritanya^^

Unknown mengatakan...

terima kasih , una !!!
jangan bosan2 mampir ke blog-ku yah...!
haha... :)